Agama Buddha bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah agama
baru. Ratusan Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan
hidup dan kepribadian bangsa Indonesia tepatnya pada zaman kerajaan
Sriwijaya, kerajaan Maratam Purba dan keprabuan Majapahit.
Candi Borobudur, salah satu warisan kebudayaan bangsa yang amat kita
banggakan tidak lain cerminan dari kejayaan agama Buddha di zaman
lampau.

Sekitar tahun 423 M Bhiksu Gunawarman datang ke negri Cho-
Po (jawa) untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Ternyata ia
memperoleh perlindungan dari penguasa setempat, sehingga misinya
menyebar luaskan ajaran Buddha berjalan lancar. semua ini tercatat
di dalambuku Gunawarman dan jika di dasarkan pada buku ini maka
kemungkinan besar ia adalah seorang perintid pengembangan agama
Buddha di Indonesia pada zaman tersebut.

Berdasarkan catatan dari kerajaan Tang di Tiongkok, pada
pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan yang
menganut agama Buddha namanya Kaling. Di Tiongkok nama itu lebih
dikenal dengan sebutan Ho Ling. Kerajaan ini sangatalah tertib dan
tentram walaupun dipimpin oleh seorang wanita tangan besi yang
bernama ratu Sima. Ho ling saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan
agama Buddha, dan tidak sedikit orang Tionghoa dari dataran Cina
datang ke negri tersebut untuk belajar agama Buddha, walaupun pada
zaman dinasti Tang agama Buddha telah menjadi agama resmi di negri
Cina..

Dalam abad ke-7 dan ke-8 antara India dan Cina terjalin hubungan
yang ramai. Hungan tersebut tidak semata-mata di Bidang perdagangan,
melainkan juga dalam ilmu pengetahuna dan agama Buddha. Antara tahun
618 hingga 907 Cina diperintah oleh Dinasti Tang, sedang di India
dalam abad ke-7 berkuasa raja Harcha yang bersikap toleran terhadap
agama Buddha. Maka pada zaman itu banyak musafir dan Bhiksu dari
Cina yang berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India.

Dalam pertengahan abad ke-7 ini pula Sriwijaya tumbuh dan
berkembang menjadi pelabuhan penting di tepi perairan Selat Malaka,
urat nadi lalu-lintas penting antara India dan Cina. Selama beberapa
abad, kerajaan ini memegang hegemoni lautan. Sriwijaya boleh
dikatakan pusat perdagangan dan pusat agama Buddha di Asia
Tenggara. Agama Buddha di zaman Sriwijaya adalah agama Buddha aliran
Mahayana dengan memahami bahasa Sansekerta.

Antara tahun 850 hingga awal abad-13, kerajaan Sriwijaya
diperintah oleh keluarga Syailendra yang pernah berkuasa di Mataram,
Jawa Tengah, antara tahun 778-850. Selama 75 tahun berkuasa di
Mataram, keluarga Syailendra banyak mendirikan bangunan suci
Buddhist berupa candi seperti Candi Kalasan, Plaosan, Sari,
Borobudur, Pawon dan Mendut. Sriwijaya kemudian meluaskan
kekuasaannya sampai ke Muangthai Selatan yang sekarang disebut
Suratani dan Pattani. Candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya di sana
antara lain Vihara Mahadhata di Jaiya dan Vihara Mahadhata di Nakorn
Sitnamart yang sampai sekarang masih ada dan bentuk bangunan, arca-
arca Buddha serta Bodhisattva mirip dengan yang terdapat di Jawa.

Attisa, Bhikkhu yang sangat terkenal dari Tibet yang
membangun kembali agama Buddha di negara tersebut pernah datang ke
Sumatra dan tinggal di sana dari tahun 1011 - 1023. Ia belajar di
bawah bimbingan Dharmakirti, seorang Bhiksu terkemuka di zaman
Sriwijaya. berdasarkan catatan biografi Attisa yang di tulis di
Tibet, Sumatra adalah pusat utama agama Buddha, sedang Bhiksu
Dharmakirti adalah seorang cendekiawan terbesar di zaman itu.

Kedatangan para dharmaduta ke Indonesia mendorong banyak
orang pergi berziarah ke India untuk mengunjungi tempat-tempat suci
dan pusat-pusat agama Buddha seperti Universitas Nalanda dan lain-
lain. Setelah kembali ke Indonesia mereka mendirikan candi-candi
dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Agama Buddha yang semula berkembang di Pulau Jawa dan
Sumatra adalah beraliran Theravada yang dikembangkan oleh Bhiksu
Gunawarman. Lambat-laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain
yang masuk ke Indonesia setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat
di India. Hal ini terlihat dengan berdirinya candi Kalasan yang
dipersemabahkan untuk Dewi Arya Tara (personifikasi Prajnaparamita
menurut aliran Tantrayana, salah satu sekte agama Buddha Mahayana)
pada tahun 779 M. . Dari catatan epigraphic diketahui bahwa salah
satu dari raja Syailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa
dari negri Ganda (Bengal) yang menganut faham Tantrayana. Hal
tersebut mendorong berkembangnya agama Buddha Mahayana.

Kehidupan agama Buddha pada masa kerajaan Mataram - I bisa
dilihat dari prasasti Conggol, sebelah Barat-daya Magelang, yang
dikeluarkan oleh Raja Sanjaya. Pasasti tersebut menyebutkan bahwa
pada tahun 654 Saka (732 M) hari senin tanggal 13 terang bulan
Kartika, Raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga yang merupakan
lambang dari dewa Siwa yang dipuja oleh raja dan rakyatnya. Sanjaya
sendiri putera Saimaha, saudara perempuan Raja Sanna yang memerintah
sebelum Sanjaya.

Pada masa pemerintahan Raja Panangkaran tahun 775, dinasti
Syailendra mulai berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan sehingga
kekuasaan dinasti Sanjaya terdesak ke utara Jawa Tengah, yakni
sekitar dataran tinggi Dieng. Di sana Sanjaya mendirikan beberapa
candi, antara laincandi Bimo, Arjuno, Semar dan Argopuro.

Raja-raja yang berkuasa pada zaman dinasti Syailendra ialah
Bhanu (752-775), Wisnu (775-782), Indra (782-812), Samarottungga
(812-833) dan Balaputradewa (833-856). Prasasti-prasasti Syailendra
ialah prasasti Kalasan pada tahun 778, dengan menggunakan huruf
pranagari dan bahasa Sansekerta; prasasti Kelurak dekat Yogya tahun
782, juga memakai huruf pra-nagari dan bahasa Sansekerta; prasasti
Karang Tengah dekat Temanggung pada tahun 824 dengan memakai bahasa
Sansekerta dan Jawa Kuno dan prasasti Kahulunan, Kedu, pada tahun
842 yang ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa Kuno.

Selama pemerintahan Syailendra, banyak bangunan candi yang
didirikan sebagaimana telah disinggung di atas. Satu diantara candi-
candi yang tersohor adalah Borobudur yang didirikan pada masa Raja
Samarottungga. Candi Sajiwan dan Plaosan dibangun pada masa
pemerintahan suami-isteri Rakai Pikatan-Pramodawardhani (puteri
Samarottungga). Nampaknya pengaruh Pramodawardhani sangat besar,
sehingga yang dibangun adalah candi bercorak Buddha. Raja Rakai
Pikatan sendiri beragama Siwa (Hindu). Jelas pada masa itu terdapat
rasa toleransi agama yang besar.

Perkawinan Rakai Pikatan yang beragama Siwa dan
Pramodawardhani yang beragama Buddha bersifat politis untuk
menghadapi Balaputra yang sedang berkuasa, selain untuk mencapai
kerukunan antara dua dinasti yang sedang bersaing dan bahkan saling
bertentangan. Balaputra dan saudaranya, Pramodawardhani bersaing
untuk menduduki jabatan Raja Mataram setelah ayah mereka,
Samarottungga meninggal dunia. Balaputra berhasil naik tahta antara
tahun 833 - 856, tetapi akhirnya benteng pertahanan Balaputra
dirobohkan juga oleh persekutuan Rakai Pikatan Pramodawardhani,
dengan demikian maka hanculah benteng terakhir dinasti Syailendra di
Jawa Tengah sebelah Selatan desa Prambanan.

Sejak pemerintahan Rakai Pikatan, dan kemudian disusul oleh
Rakai Kayuwangi (856-886), Rakai Watukumalang (886-898), Balitung
(898-910), Daksa, Tulodong dan Wawa, pemerintahan dinasti Sanjaya
semakin berkembang. Pada masa Raja Wawa, pusat kekuasaan Mataram
dipindahkan ke Jawa Timur, sehingga peranan Jawa Timur selama dua
abad kemudian berhasil menggantikan kedudukan Jawa Tengah.

Ada dua pendapat tentang apa sebabnya pusat pemerintahan
kerajaan Mataram dipindahkan yang ditandai juga dengan perpindahan
massal rakyat ke Jawa Timur. Pertama,mereka yang berpendapat
perpindahan itu akibat meletusnya gunung Merapi yang banyak
menimbulkan bencana dan korban. Menurut kepercayaan rakyat,
meletusnya gunung Merapi menunjukkan kemarahan para dewa. Pendapat
ke-dua, karena tarikan faktor ekonomi di Jawa Timur yang semakin
besar, di mana perdagangan dan pelayaran laut dan sungai kian rarnai.

Babak pertama pemerintahan Mataram di Jawa Timur dipegang
oleh dinasti Isana, nama yang diambil dari nama Sri Maharaja Rake
Hino Sri Isana Wikramadjarmotunggadewa, gelar Mpu Sendok. Bagaimana
Mpu Sendok naik tahta kurang dutetahui. Namun diduga melalui
perkawinannya de putri Wawa. Dari prasasti-prasasti yang
dikeluarkannya, ternyata Mpu Sendok banyak menaruh perhatian pada
perdagangan dan pelayaran di kali Brantas selain pertanian. Mpu
Sendok juga dikenal Raja yang memerintah dengan lebih demokratis dan
menaruh minat pada soal-soal hukum serta kesusastraan· Pada masa
pemerintahan Mpu Sendok-lah di

Mpu Sendok sendiri penganut agama Hindu, sehingga timbul
kesan adanya toleransi agama yang sangat kuat di masa itu. Nampaknya
antara agama Hindu yang dianut di Kutai, Taruma dan Mataram pada
satu pihak dan agama Buddha yang dianut Sriwijaya dan Mataram (masa
dinasti Syailendra) di lain pihak pernah terjadi persaingan dan
perbenturan. Narnun kemudian terjadi toleransi yang diawali oleh
perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Hal mana dilanjutkan
pada masa pemerintahan Isana dan kemudian terjadi "pembauran" antara
Hindu dan Buddha sehingga batas kedua agama itu semakin kabur pada
masa Singosari dan Majapahit. Pembauran kedua agama ini masih dapat
disaksikan di Jawa dan Bali.

Diantara raja-raja keturunan Mpu Sendok, yang paling
berhasil adalah Airlangga. la adalah seorang raja yang ditaati oleh
rakyatnya yang rela menyerahkan segala milik mereka demi kepentingan
pemerintahaan Airlangga. Airlangga berhasil membawa kerajaan Mataram
pada puncaknya; tapi Airlangga pula yang meruntuhkan kerajaan itu.

Runtuhnya kerajaan Mataram sudah berada di ambang pintu
tatkala Sanggramatunggadewi, orang kedua yang pantas menduduki tahta
sesudah Airlangga, menolak jabatan besar tersebut. la lebih suka
memilih hidup suci sebagai petapa di Pucangan, gunung Penanggungan,
dengan nama Kili Suci. Maka, Airlangga terpaksa minta bantuan Mpu
Bharada yang sakti untuk membagi kerajaannya kepada kedua putranya,
Jenggala (Singasari) di bagian Timur dan Kediri di bagian Barat pada
tahun 1041. Airlangga sendiri menjadi petapa pada tahun 1042 dengan
nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan dimakarnkan di
Tirtha, tempat permandian Jalatunda dekat desa Belahan di sebelah
Timur gunung Penanggungan.

Airlangga sebagai penjelmaan Wishnu diwujudkan dalam bentuk
Wishnu sedang naik seekor burung Garuda.

Kerajaan Majapahit adalah Negara Kesatuan Indonesia kedua
setelah Sriwijaya yang dibangun oleh umat Buddha dan Hindu. Umat
Buddha dan Hindu dalam zaman keprabuan Majapahit, berhasil
mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman keemasannya. Kejayaan
keprabuan Majapahit dapat terwujud antara lain disebabkan karena
adanya kerukunan intern umat Buddha dan kerukunan intern umat Hindu
serta adanya kerukunan hidup antara umat Buddha dan umat Hindu pada
zaman itu. Maharaja Hayam Wuruk dalam menjalankan pemerintahannya
didampingi oleh penasehat agung dalam keagamaan yakni Dharmadhyaksa
Ring Kasongatan dan golongan Buddha dan Dharmadhyaksa Ring Kasewan
dari golongan Hindu. Kerukunan hidup umat beragama pada zaman
Majapahit dirintis dan dipelopori oleh Pujangga Buddhis yang agung,
Mpu Tantular. Dalam bait syair yang ada di dalam buku yang
ditulisnya yakni kitab "SUTASOMA" pujangga besar Mpu Tantular
menulis: "Siwa Buddha Bhinneka Tunggal lka Tan Hana Dharma Mangrwa".
Kalimat sakti yang dapat mempersatukan umat beragama dan rakyat
Majapahit pada waktu itu, yakni Bhinneka Tunggal lka, sekarang
merupakan kalimat sakti pemersatu bangsa Indonesia dan ditulis dalam
lambang negara Garuda Pancasila.

Setelah keprabuan Majapahit mengalami zaman keemasan, pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Maha Patihnya Gajah Mada yang
beragama Buddha, akhirnya mengalami keruntuhan karena kerukunan
hidup umat beragama serta persatuan kesatuan rakyat". Majapahit
tidak dapat lagi dipertahankan. Terjadinya perpecahan dan
pertentangan yang tidak henti-hentinya akhirnya membawa Majapahit
sirna dari muka bumi ini. Bersama dengan itu agama Buddha juga
mengalami pasang surut dalam perkembangannya, kemusnahannya semakin
nyata dalam zaman penjajahan Belanda. Narnun demildan, dalam zaman
penjajahan Belanda pula agama Buddha mulai dipelajari dan dihayati
oleh generasi muda yang terhimpun dalam Perhimpunan Theosofi
Indonesia dan Sam Kauw.